INSYA ALLAH YOU’LL
FIND YOUR WAY
Membincang Novel Ke-3
Hengki Kumayandi
Sebagai usaha saya untuk
mewujudkan ambisi pribadi agar bisa disebut blogger beneran, tentunya saya harus mulai lebih
rajin berdoa, berjuang melawan kemalasan dan nggak malas membuka blog ungu saya
agar nampak update beneran. Bener gitu kan? Yah, bener nggak
bener yang penting beneran nih sepertinya doa saya terkabul hari ini dengan
adanya: 1. Wifi gratis anti lelet di rumah Aa’, 2. Aktifnya Aplikasi Anti Malas
dalam diri saya dan 3. Adanya seorang penulis yang rela menjadi korban untuk
dikepoin via BBM. Its amazing!
Baiklah, saya rasa
kita tidak perlu membahas ambisi saya yang usil ini agar postingan di blog saya
ini tidak terbaca imbisil. Oke, abaikan paragraf pertama saya di atas dan kita
fokus pada apa yang dihasilkan 3 poin yang telah saya tuliskan dalam paragraf pertama
di atas. Eh?
![]() |
Hengki Kumayandi |
Oh ya sebelumnya
kalian sudah kenal belum dengan penulis muda bernama Hengki Kumayandi yang
telah bersedia menjadi korban pertama saya (direncanakan saya akan mencari penulis
lain yang bersedia untuk dijadikan korban berikutnya *tertawa evil)? Kalau
belum kenal mari berkenalan dengannya melalui FB dan FP-nya dengan nama yang
sama, tapi sebelumnya simak wawancara kami via BBM berikut ini.
Arista
Devi : Ehem ehem *tes microphon* Pertanyaan 1: Mas penulis *uhuk-uhuk jomblo atau berpasangan nih
statusnya? #status yang ini penting juga
buat dipromoin. 2: Gimana rasanya mau lahiran buku baru? Ini sudah buku ke berapa ya?
Hengki Kumayandi: 1. Statusnya masih misterius. :D 2. Rasa deg-degan, bagaimanapun peperangan sesungguhnya bagi penulis adalah di saat bukunya terpampang di toko buku. Ini novel ke tiga.
Arista Devi : Wah keren, ditulis via hape! *tepuktangan 8. Bisa diceritakan nggak Mas, gimana cara atau proses pengiriman novel ke penerbit? Soalnya asli nih masih banyak yang bingung gimana cara kirim tulisan ke penerbit. Kirim sinopsis aja, outline aja, atau kirim semua barengan (sinopsis, outline dan isi novel lengkap). #pertanyaan penulis pemula
Arista Devi : Asyik, berarti novel inspiratif nih
Hengki Kumayandi: Inspiratif juga islami. :D
Arista Devi : Terima kasih Mas Penulis Misterius #nggak tahu apanya yang misterius =))
Hengki Kumayandi : Hahaha ditunggu tulisan hasil wawancaranya ya Bibi Peri!
***
Oke, sebenarnya
tentang buku ke-3 Hengki Kumayandi ini, saya termasuk sebagai orang yang beruntung karena mendapat
kesempatan membacanya sebelum tulisan ini menemukan jalan kepastian kapan akan
diterbitkan dan dipajang di toko buku.
Pada awal membacanya,
jujur saja saya sempat berhenti di bab-bab awal yang terasa datar, tapi
sebagaimana novel Hengki sebelumnya, saya percaya aka ada sesuatu yang
mengejutkan di bagian berikutnya. Dan benar saja, seperti halnya hiking yang
menjadi hobi saya, rupanya Hengki juga tipe penulis yang menulis dengan gaya
hiking! Terasa biasa pada permulaan, mulai menarik di pertengahan dan menakjubkan
di puncak serta membuncahkan rasa serta tak mudah dilupakan di akhir cerita. Dan uniknya lagi, rasa yang
buncah itu bisa merupa tawa dan airmata sekaligus.
Penasaran ya seperti
apa cerita perjalanan hidup Hengki eh Bram ding? Tenang, rasa penasaran kalian
akan segera terobati dengan kehadiran buku keren ini di toko-toko buku terdekat
di kotamu. Jadi silakan menabung dulu agar bisa membaca kisah Bram, Sang Guru
Muda yang meniti jalan berliku dalam pencarian cita dan cintanya, yang dijamin akan penuh pesan dan kesan terutama untuk pembaca yang
merasa muda. Eh?
![]() |
Coming soon: Novel ke-3 Hengki Kumayandi |
PROLOG
Suasana café di bilangan Ciputat terasa ramai oleh pengunjung yang memadati diskusi novelku ini. Gerimis yang turun seakan mempercantik malam yang remang oleh temaram rembulan. Aku duduk di sebuah kursi, tepat di tengah panggung kayu berukuran sedang. Beberapa orang sibuk melihatku, sebagian mengambil gambar, sebagian lagi seakan sudah tak sabar untuk bertanya. Namun, hanya ada satu yang menarik perhatianku di tempat ini. Sesosok gadis muda berjilbab yang duduk jauh di sudut café.
Wajah gadis itu mengingatkanku pada sosok orang yang pernah dan selalu hadir dalam hatiku, sosok yang membuatku bisa berdiri tegar sampai saat ini, sosok yang membuatku terus bersemangat untuk menjadi seorang lelaki tangguh, apapun yang terjadi.
Namun, perlahan sosok itu menghilang dari pandangan mataku, tak ada siapa pun di sudut café itu. Aku tahu ini semua hanya perasaanku saja, atau mungkin aku memang merindukannya.
Kini, tiga tahun sudah berlalu, aku kembali ke kota ini, Ciputat. Di sinilah kisah itu terjadi, kisah yang mengantarku menjadi seorang penulis seperti saat ini. Di tempat ini, akan aku ceritakan pada kalian apa yang pernah terjadi dalam hidupku, tiga tahun yang lalu, tentang persahabatan, juga cinta.
“Untuk seseorang yang sangat berarti dalam hidupku, Fajrin. Dan untuk seseorang yang mengajariku arti mencintai, arti dicintai, arti memiliki yang sejati, Elis. Kalianlah alasan kenapa aku masih ada, hingga kini,” ucapku perlahan, dan kini lampu sedikit meredup menyisakan sebuah penerangan tepat di atasku.
Sebait puisi yang kugubah dari surat terakhir Elis mengalun merdu dari
bibirku. Aku tahu dia melihatku, aku tahu dia tersenyum padaku, saat ini.
Suasana café di bilangan Ciputat terasa ramai oleh pengunjung yang memadati diskusi novelku ini. Gerimis yang turun seakan mempercantik malam yang remang oleh temaram rembulan. Aku duduk di sebuah kursi, tepat di tengah panggung kayu berukuran sedang. Beberapa orang sibuk melihatku, sebagian mengambil gambar, sebagian lagi seakan sudah tak sabar untuk bertanya. Namun, hanya ada satu yang menarik perhatianku di tempat ini. Sesosok gadis muda berjilbab yang duduk jauh di sudut café.
Wajah gadis itu mengingatkanku pada sosok orang yang pernah dan selalu hadir dalam hatiku, sosok yang membuatku bisa berdiri tegar sampai saat ini, sosok yang membuatku terus bersemangat untuk menjadi seorang lelaki tangguh, apapun yang terjadi.
Namun, perlahan sosok itu menghilang dari pandangan mataku, tak ada siapa pun di sudut café itu. Aku tahu ini semua hanya perasaanku saja, atau mungkin aku memang merindukannya.
Kini, tiga tahun sudah berlalu, aku kembali ke kota ini, Ciputat. Di sinilah kisah itu terjadi, kisah yang mengantarku menjadi seorang penulis seperti saat ini. Di tempat ini, akan aku ceritakan pada kalian apa yang pernah terjadi dalam hidupku, tiga tahun yang lalu, tentang persahabatan, juga cinta.
“Untuk seseorang yang sangat berarti dalam hidupku, Fajrin. Dan untuk seseorang yang mengajariku arti mencintai, arti dicintai, arti memiliki yang sejati, Elis. Kalianlah alasan kenapa aku masih ada, hingga kini,” ucapku perlahan, dan kini lampu sedikit meredup menyisakan sebuah penerangan tepat di atasku.
Sebait puisi yang kugubah dari surat terakhir Elis mengalun merdu dari
bibirku. Aku tahu dia melihatku, aku tahu dia tersenyum padaku, saat ini.
Hong Kong, 4 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar